Sore Hari Mengenang Whitney Plus Diskusi Mengenai Pengawal Pribadi

Aku kaget sekali pagi-pagi karena sebuah kabar dukacita yang kudapati. Salah satu penyanyi idolaku–yang lagu-lagunya menemani dari masa pra-menstruasi sampai umur segini–telah meninggal dini. Memang aku nggak kenal sii, namun bagaimanapun doi menorehkan sejarah tersendiri dalam aku punya memori–yang walaupun hanya sekelas floppy. Ya, aku bicara tentang tante Whitney.

Beberapa lagunya pernah menjadi jajaran soundtrack kehidupan. Dari percintaan, pertemanan, pekerjaan, sampai ke ranah pendidikan.

I Will Always Love You terngiang-ngiang di telinga saat aku mengamati foto kecengan-seumur-umur yang selama ini kuselipkan baik-baik di dompetku–sebaik aku menyimpan kembalian angkot di balik beha, kalau-kalau ribet ngubek-ngubek tas untuk mencari tempat recehan.

Saving All My Love For You bercerita tentang aku yang menabung kecengan demi mendapatkan pasangan betulan di masa depan. Perbanyaklah kecengan! Cinta berbalas atau tidak itu urusan belakangan!

I Believe In You And Me bercerita tentang aku yang percaya banget sama sang pasangan-masa-depan-yang-belum-ketauan-rimbanya untuk mengarungi kehidupan bersama selamanya–yang sampai sekarang titik terangnya masih remang-remang.

When You Believe bergema di hati saat aku tak pede saat mengerjakan ujian, baik ujian perkuliahan atau–lagi-lagi–ujian percintaan.

Balik lagi ke Whitney, aku inget dulu ada parodiannya The Bodyguard–film hits doi bareng Kevin Costner yang waktu itu badannya rada keker–sebelas-duabelas sama Billy Bujanger. Judulnya Bodi Kuat. Karakter Whitney Houston yang namanya Rachel Marron jadi Reseh Manyun, diperankan sama Titik Dijey. Ah jadulnya aku. Brb bakar ktp.

“The Bodyguard–Kostum nyanyi Whitney Houston yang sebelas-duabelas sama kostum tinju Mike Tyson

Nah, speaking of witch, kemarin-kemarin aku sempat bersua dengan teman lama, Dina namanya. Masih sama seperti beberapa tahun lalu, ia masih bersama kekasihnya yang tinggal di kota yang berbeda. LDR–Long Desperate Distance Relationship–gitu deh. Dan masih seperti 3 tahun lalu pula, kebiasaan pacarnya belum berubah.

“Aku masih seperti yang duluuu…” Samar-samar sepertinya aku bisa membayangkan pacar Dina menyenandungkan lagu itu.

Setiap 10 menit, akan terdengar bunyi lagu “Lady Entebelum”–ente belum kek, ente udah kek, emang gue urusin–dari hapenya. Di ujung sini, selalu terdengar jawaban yang cenderung sama: “masih sama Barbara”, “masih di tempat makan”, “udah”, “oke”, dan akhirnya “love you too!“–yang sukses bikin aku kejengkang ngangkang ke belakang.

“Memangnya dese nggak kerja?” Tanyaku bingung, setelah dia menutup teleponnya untuk yang ke-empat kalinya dalam kurun waktu 50 menit terakhir.

“Dia kan jajaran direktur…”

Ish pongahnya!! Dalam hati aku nyeletuk sembari garuk-garuk.

“… Jadi kerjaannya, ya kaya bos-bos di sinetron gitu. Tanda tangan, meeting, dan lain-lain. Kaya sibuk, padahal nggak juga.”

“Udah berapa lama sih total pacarannya?” Aku mencoba mengingat-ingat , karena semenjak terakhir aku mengenalnya, pacarnya masih juga orang yang sama.

“Udah 4 tahun lebih.”

“Pake baju, baju singlet… Buju Buset! Dan itu selalu dia lakukan selama 4 tahun ini?

Itu tuh apa?

“Ya nelepon kamu saban berapa menit!”

“Iya.” Dengan melemparkan ekspresi ‘otot kawat tulang besi… So what, emang kenapa sii?’

“Ga sayang pulsa emangnya?

“Lupa ya? Kan dia anak orang kaya, yang sekarang jadi orang kaya juga. Beli pulsa sih kaya beli ciki.”

“Kalau dia nelepon ngobrol apa ajya?

“Ya standar lah, cuman nanya ‘sedang apa dan dimana’?

“Jadi dari dulu pacar kamu Sammy Simorangkir?”

Dina melongo. Rupanya ia tak mengikuti perkembangan blantika musik Indonesia masa kini.

Anyway, kamu ga risih dan ribet diteleponin terus begitu?” Tanyaku lagi.

“Nggak dong. Artinya kan dia perhatian. Dia memastikan bahwa aku akan sampai lagi di rumah dengan aman.” Dina menyeruput beras kencurnya. “Gini Bar, setiap perempuan tuh butuh semacam bodyguard sebagai sosok untuk melindungi. Nah, aku sama dia kan jauhan. Jadinya dia menelepon aku setiap beberapa menit sekali itu sebagai kompensasi atas ketidakhadirannya dia dalam keseharianku.” Matanya berbinar. Bibirnya bergetar.

Perbincangan kami yang menuju serius teralihkan oleh seorang ibu-ibu dengan gesper bulu yang menarik perhatian kami. Baru kami mau berkomentar tajam perihal item bulu si ibu, saat itu pulalah teman kami yang lain–Marini–tiba dengan menenteng tas berwarna magenta lucu, Hermes KW satu.

Kami cipika-cipiki. Di belakangnya berdiri mematung seonggok pria berbadan body-builder dengan kacamata hitam berbingkai kuning. Berdiri agak miring tak bergeming.

“Kamu masih ajyah dikawal sama si Macho?” bisikku saat kami lagi cipiki.

“Hihi… iya. Masih belum bosen doi ngintilin gue.”

“Bisa capcus dulu nggak doi? Risih aku gegosipan diliatin sama laki-laki non-banci.”

Setelah Marini mengisyaratkan pria itu agar melipir. Si Macho–begitulah panggilannya–sontak pergi ke pojokan, kadang ke parkiran, menunggu gadis idamannya bergosip lucu bersama teman-teman perempuannya selama hampir 3 jam.

Si Macho memang bukanlah pacar Marini. Bukan pula bodyguard pribadi. Mana mampu dia nyewa orang buat jagain doi? Tasnya saja nyicil tiga kali. Namun si Macho memang menyimpan hati pada Marini. Berhubung si Macho badannya kekar berisi pun bermobil Mersi, Marini tak segan menjadikannya pengawal selama beberapa bulan ini. “Toh dianya yang menawarkan diri!” Serunya tak peduli.

Kesimpulan dari perbincangan kami sore itu adalah namanya perempuan, kepingin juga dijaga dan diperhatikan kan?

Mendengarkan cerita mereka, aku hanya manggut-manggut imut. Tak tahu rasanya di-bodyguard-in. Lagipula aku juga bukan diva. Jadi belum perlu lah sosok seorang bodyguard yang selalu mengawasi kegiatanku yang segudang nan menyita waktu serta energi sehingga butuh suplemen untuk menjaga metabolisme badan. Latihan untuk ngisi iklan infotainment.

Kembali lagi ke topikku semula, tentang aku yang ikut-ikutan berduka atas sang diva yang sebenarnya. Satu lagu Whitney Houston yang jadi lifetime soundtrack aku adalah Run To You. Bagaimana tidak? Dari dulu aku selalu ngejar-ngejar laki-laki lucu dengan hasil akhir yang itu-itu selalu: menanggung malu. Ditolak melulu!! Nyeruput susu, campur lem UHU.

“Lem UHU… Obat jitu saat menanggung malu”

About ceriterabarbara

Wanita biasa saja. Karena yang tak biasa itu Alda Risma (Aku tak biaaasaaa...)
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment